Bukan Dalang Biasa

21.40

BUKAN DALANG BIASA
Sekehing kang dumadi makardi
Lir hyang widhi kang tansah makarya
Nguribi jagad tanpo leren
Surya, candra lan bayu
Bhumi tirta kalawan agni
Paparing panguripan maring
Mring pamrih wus mungkur
Anane nuhoni dharma
Iku dadya “satra cetha” tanpa tulis
Nulat lakuning alam
Matahari mulai merekah di ufuk timur dan menyibak embun dibilik fajar. Burung-burung  mulai berkicau. Melantunkan sebuah simponi untuk Sang Pencipta alam. Menyambut rona sang mentari. Angin berhembus membelai dadaunan hijau. Pelan. Beberapa daun kering terbawa angin dan bermimpi untuk merengkuh langit. Sayang, mereka jatuh dan bersua dengan tanah.
Seperti biasa, suara radio mengisi kesunyian dalam sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh seorang janda bernama Sutinah dan anak semata wayangnya, Sinta. Suara khas nan merdu dari sinden yang menyanyikan bait demi bait tembang dandang gula dengan iringan gendhing jawa terdengar membahana memenuhi rumah.
Selagi radio masih sibuk mengoceh, seorang gadis cantik berambut panjang dengan seragam putih abu-abu berjalan mendekati radio. Langkahnya terhenti. Angannya melayang melesat ke masa lalu. Ia memandangi kursi kayu di sebelah radio. Sebuah kursi tua dengan ukiran khas Jepara. Catnya sudah pudar termakan usia. Matanya menjadi sedikit lembab. Sedih. Ia teringat mendiang bapaknya yang setiap pagi selalu duduk di kursi itu sambil mendengarkan tembang jawa. Tembang-tembang warisan leluhur yang menyimpan sejarah bangsa. Saksi bisu sebuah kejayaan masa lampau.
Bapak Sinta adalah seorang dalang yang sangat dielu-elukan pada masanya. Beliau adalah orang nomor wahid dalam hal sulukan. Dengan luwes memainkan tokoh-tokoh wayang kulit yang tertata rapi dan bersembunyi di balik kelir. Menceritakan kisah indah yang apik dan penuh keajaiban.
            Lamunan Sinta buyar setelah mendengar seruan ibunya dari dapur. Ia bergegas menuju kamarnya. Saat memasuki kamar, ia melihat poster artis-artis korea yang sudah lama ia tempelkan di dinding kamarnya. Ia jadi teringat pesan bapaknya. Lagi. Pesan yang amat mulia. Sinta selalu mengingat pesan bapaknya dan ia berjanji akan mewujudkan mimpi itu. Sebuah mimpi yang ingin menjadikan wayang kulit dikenal seantero bumi. Menjadikan Yudhistira kembali bertahta di Mahabharata, menunjukkan keampuhan gada rujakpolo di tangan Bima dan panah pasopati di tangan Arjuna, menuai kisah cinta Arjuna dan Sembadra, dan menelaah sifat Nakula dan Sadewa. Sinta segera berangkat ke sekolah bersama semua mimpi-mimpinya.
*****
Setibanya di sekolah, seperti biasanya Sinta disambut oleh ledekan Bagas yang selalu menyebutnya sebagai “Misss Blangkon”. Bagas adalah teman satu kelas Sinta yang bisa dibilang tampan. Ia memang sangat senang meledek Sinta. Ledekan itu bukan tanpa sebab. Dulu, ketika ada pertemuan wali murid kelas X SMA, bapak Sinta datang dengan menggunakan pakaian jawa lengkap dengan blangkon, begitu juga ibunya yang menggunakan konde seakan mau kondangan. Sejak saat itulah Bagas menjuluki Sinta sebagai miss blangkon hingga sekarang. Kelas XII SMA. Mereka selalu bertengkar dimanapun dan kapanpun. Tidak ada yang mau mengalah dan sama-sama keras kepala. Persis seperti film kartun Tom and Jerry.
Sinta tetap berjalan menuju ruang kelas dengan wajah merengut tanpa memperdulikan celotehan Bagas. Langkahnya terhenti, matanya tertuju pada sebuah pamflet berukuran cukup besar yang tertempel di mading sekolah. Pamflet dari sebuah stasiun televisi yang akan mengadakan kontes pencarian bakat. Audisinya akan dimulai dua minggu lagi dengan biaya pendaftaran sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Wajah Sinta sumringah, matanya berbinar sedikit terbelalak kegirangan. Ia berpikir kalau ini adalah kesempatan emas baginya untuk bisa mewujudkan angan mendiang bapaknya. Sinta berencana untuk mengajak teman-temanya. Tapi ia bingung bagaimana caranya mendapat uang sebanyak itu. Pikirannya melayang dan ia berjalan tanpa memperhatikan langkahnya hingga terpeleset. Jatuh. Tiba-tiba sebuah ada uluran tangan yang berusaha membantunya berdiri. Tanpa memperhatikan si pemilik tangan, Sinta menyambut uluran tangan itu. Tetapi kemudian Sinta melongo melihat orang yang membantunya adalah musuh bebuyutannya, Bagas. “Thanks”, Ucap Sinta singkat sambil membersihkan roknya yang kotor.
“Lain kali hati-hati, kamu emang selalu ceroboh” Bagas mendesis sambil tersenyum tipis.
Sinta bingung melihat tingkah Bagas yang tidak seperti biasanya. Dia segera membuang jauh-jauh pikirannya tentang Bagas dan bergegas masuk ke kelas.
*****
            Pagi. Jam istirahat.
Sinta segera mengutarakan keinginannya kepada teman-temanya. Di sebuah meja dengan beberapa kursi yang tersedia di kantin ia bercerita panjang lebar tentang wayang kulit dan kontes pencarian bakat.
“Gimana, kalian bisa bantu aku kan?” pinta Sinta.
“Oke, aku sama Mirsha mau jadi sindennya,” ucap Anisa yakin.
“Aku mau bagian gamelan aja,” Nauval tak mau ketinggalan.
“Kalian gimana?” tanya Sinta sambil memandang Lili dan Bobby yang sedari tadi tidak bersuara.
“Sorry, sebenernya aku pengen banget ikut, tapi aku nggak bisa. Bulan ini aku sibuk persiapan olimpiade fisika tingkat nasional,” ucap Lili dengan wajah penuh sesal.
“Nggak masalah kok Li. Trus kamu Bob?” tanya Sinta lagi.
“Aku mau, tapi ada syaratnya,” kata Bobby yang bertubuh gemuk.
“Syarat apaan?” Lili penasaran sambil mengernyitkan dahinya.
“Aku mau ikut kalo selesai latihan diberi es cendol gratis buatan ibunya Sinta. Hehehehe…”
“Dasar bagong!” ucap Nauval ketus yang disusul seruan dari teman-teman yang lain.
“Itu gampang. Beres pokoknya,” sinta mengacungkan jempolnya tanda setuju.
Kemarin sore Sinta sudah meminta bantuan pakde Sutris untuk mengajarinya sulukan sebagai dalang dan juga mengajari teman-temannya belajar bermain alat musik. Ia juga sudah memeriksa semua perlengkapan. Peralatan gamelan seperti gong, kendang, gambang, suling dan saron masih terawat dengan baik. Tak lupa ia juga mempersiapkan kelir.
Sinta masih duduk di kantin sekolah. Sendirian. Dia memikirkan siapa lagi orang yang akan diajaknya sebagai Nagaya.
“Ada yang lagi ngelamunin aku nih?” terdengar suara Bagas dari arah belakang.
“Ngapain kamu disini?” ucap Sinta yang tidak sadar akan kehadiran Bagas.
“Emang nggak boleh?”
Sinta hanya terdiam.
“Oke. Denger-denger kamu mau ikut kontes dan katanya kamu mau tampil sebagai dalang wayang kulit ya? Aku boleh ikut kan?”
Sinta memandang ke arah Bagas. Berfikir sejenak. Heran. Akhirnya ia menyetujui permintaan Bagas yang akan menguntungkannya. Sinta memang agak bingung dengan tingkah Bagas akhir-akhir ini. Tapi ia cukup senang dengan hal tersebut. Percakapan mereka terus mengalir dihiasi canda dan tawa. Mereka seakan-akan telah melupakan api permusuhan yang selama ini hampir tak pernah padam.
*****
            Prraakkk…!!!
            Sinta memecahkan celengannya. Ia hanya mendapat uang seratus ratus sembilan puluh lima ribu. Ia berfikir keras bagaimana cara untuk mendapatkan uang. Akhirnya ia memutuskan untuk bekerja di pasar. Membersihkan kulit bawang adalah satu-satunya pilihan. Walaupun dengan upah hanya empat ribu per kilo.
            Sinta kini telah mengganti poster-poster artis Korea yang ada di kamarnya dengan wayang kulit. Dia kini sudah mulai menghafal satu demi satu nama tokoh wayang kulit. Ada Yudha, Yudhistira, Arjuna, Sinta, Gatot Kaca, Sembadra dan lain-lain. Ia senang karena namanya serupa dengan salah satu tokoh wayang. Mungkin bapaknya ingin ia seperti Sinta dalam perwayangan.
*****
Latihan untuk persiapan kontes giat dilakukan. Mereka latihan dengan penuh semangat, dengan canda dan tawa pastinya. Kini Bagas dan Sinta memiliki hubungan pertemanan yang semakin erat. Bagas telah berubah menjadi sosok yang lebih keren seperti Arjuna di mata Sinta. Sesekali Sinta melirik ke arah Bagas yang sedang bergurau dengan teman-temannya. Sinta tak tahu mengapa hatinya merasa bahagia melihat pemuda itu ada di sampingnya. Senyumnya, suaranya, dan wajahnya. Ya, Sinta suka semua hal yang ada pada diri Bagas. Walaupun dulu mereka sering bertengkar, kini Bagaslah yang menjadi penguat hatinya. Selalu setia menemani. Rela duduk di samping sinta saat air mata Sinta jatuh dari pelupuk mata. Selalu memberikan senyuman yang meneduhkan. Dan selalu merubah lara menjadi tawa. 
Sudah sembilan hari Sinta bekerja di pasar. Ia bekerja keras dan berhasil mengumpulkan uang sembilan puluh ribu. Untuk kekurangannya, ia akan menambahnya dengan menyisihkan dari uang saku yang diberikan ibunya.
Seperti biasa, sepulang sekolah Sinta bekerja ke pasar. Saat sedang membersihkan kulit bawang, ia melihat perempuan bule yang sedang kebingungan. Ia sedikit heran karena ada seorang bule yang blusukan di pasar. Ia segera menghampiri bule itu dan menyapanya. Dengan bahasa inggris yang fasih Sinta berbincang dengan perempuan itu. Ternyata perempuan itu bernama Kim Eun Jung, pejabat pemerintahan negara Korea Selatan yang tertinggal rombongannya. Sinta menawarkan bantuan kepadanya untuk tinggal di rumahnya sambil menunggu pihak Korea Selatan yang menjemput.
            Sinta pulang bersama Nona Kim dan menyiapkannya makanan. Usai makan, mereka saling mengobrol. Sinta juga mengajak Nona Kim untuk melihatnya latihan pertunjukan wayang kulit. Nona Kim sangat menyukainya dan berkali-kali memuji kebolehan Sinta. Setelah beberapa saat, mobil jemputan tiba. Nona Kim berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Tidak lupa ia meminta nomor telepon Sinta.
*****
Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran peserta kontes pencaian bakat. Sinta sudah mempersiapkan semua keperluan untuk mendaftar.
“Bu! aku mau pergi dulu.”
“Ibu dimana sih?,” Sinta memanggil ibunya berkali-kali, namun tidak ada jawaban.
Sinta tersentak kaget setelah menemukan ibunya tergeletak di lantai kamar mandi dan bersimbah darah. Sepertinya ibunya terpeleset. Ia segera meminta bantuan tetangga untuk membawa ibunya ke rumah sakit. Kali ini, Sinta harus merelakan uang yang telah ia kumpulkan dengan susah payah demi kesembuhan ibunya. Ia sangat sedih dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia merasa tidak enak hati kepada teman-temannya yang telah berusaha keras untuk ikut kontes ini. Dia duduk dengan kepala tertunduk di lorong rumah sakit.
“Kamu nggak usah sedih Sin, kami bakal usaha biar kita bisa ikut audisi,” Bobby berusaha menenagkan Sinta.
Sinta senang karena teman-temanya datang menyemangatinya. Setelah itu mereka semua mengumpulkan uang yang mereka miliki. Akhirnya mereka bisa terdaftar dan besok akan menjalani audisi.
*****
Hari Audisi yang ditunggu telah tiba. Peralatan gamelan sudah dinaikkan di mobil pick up pakde Sutris. Sinta memakai baju dalang dan blangkon bapaknya, Mirsha dan Anisa menggunakan kebaya berwarna merah tua, sedangkan Bobby, Nauval, Bagas dan teman-temanya menggunakan pakaian yang serupa dengan Sinta. Mereka berangkat dengan perasaan senang dan deg-degan yang campur aduk.
Mereka tiba di tempat audisi. Sembari menunggu giliran mereka untuk tampil, mereka menyaksikan peresta lain. Walaupun peserta lain menampilkan hal-hal yang luar biasa, mereka tetap optimis. Setelah menunggu lebih dari dua jam, akhirnya sekarang giliran mereka untuk tampil. Mereka diberi waktu 5 menit. Mereka segera mempersiapkan peralatan gamelan. Mereka tampil dengan penuh antusias, namun tiga orang juri yang ada di sana tidak meloloskan mereka ke babak berikutnya. Sayang sekali. Penampilan Sinta dan teman-temannya dianggap kolot dan kuno.
“Semuanya sia-sia! Tidak ada gunanya!” teriak Sinta dengan air mata yang mulai meleleh.
“Kamu nggak boleh putus asa gitu Sin,” Bagas mencoba menenangkan.
“Lalu apa yang bisa kita lakuin? Nggak ada, sama sekali nggak ada!” tangis Sinta semakin menjadi-jadi.
Teman-teman Sinta hanya tertunduk sedih. Bukan karena gagal lolos audisi, tapi karena melihat Sinta yang sedih dan gagal setelah semua perjuangannya.
“Aku harap kamu jangan sedih. Hatiku tersayat melihat kamu seperti ini. Aku sayang sama kamu,” bisik Bagas sambil memeluk Sinta.
Kata-kata Bagas rupanya bisa membuat Sinta sedikit tenang.
Kriiiinggg…Kringgg…
Handphone Sinta memekik dari dalam tasnya. Segera ia mengangkatnya.
Ternyata Nona Kim Eun Jung yang menelponnya. Dengan suara parau Sinta berbicara sambil menyembunyikan rasa sedihnya. Setelah saling menanyakan kabar, Nona Kim merubah berbicara dengan nada cukup serius. Nona Kim memberi tahu Sinta untuk datang ke korea selatan untuk memenuhi undangan dari kedutaan besar Korea Selatan dalam acara pameran kebudayaan se-Asia. Awalnya Sinta masih kurang percaya dengan hal tersebut, namun setelah Nona Kim berkali-kali meyakinkan Sinta, akhirnya Sinta percaya. Sinta sangat berterima kasih kepada Nona Kim. Dia tidak menyangka pertemuannya dengan Nona Kim akan membawanya untuk menjemput asa. Sinta segera memberi tahu teman-temannya tentang kabar baik tersebut. Semua bahagia mendengarnya. Mereka akan pergi bersama-sama ke Korea Selatan dengan semua biaya akomodasi yang sudah ditanggung oleh pihak pemerintahan.
*****
Sinta dan teman-temannya tiba di Korea Selatan dan disambut oleh Nona Kim. Mereka segera menuju ke hotel untuk beristirahat. Esok mereka harus tampil secara maksimal karena mereka membawa nama Indonesia.
Keesokan harinya…
Kini Sinta dan teman-temannya sudah berada di atas panggung dan siap untuk tampil. Tepuk tangan menderu. Lampu panggung dimatikan dan hanya ada cahaya di balik kelir dan beberapa penerangan untuk sinden dan pemain gamelan. Mereka memulai pertunjukan wayang kulit. Para tamu yang merupakan delegasi dari berbagai negara di dunia terpukau melihat penampilan Sinta dan teman-temannya. Pementasan wayang kulit Sinta di Korea Selatan sukses besar. Banyak orang asing yang menjadi tertarik pada wayang kulit dan bertanya banyak hal tentang wayang kulit. Mereka bisa pulang ke Indonesia dengan bangga.
*****
Setelah lulus SMA, Sinta mendapatkan beasiswa untuk mengambil jurusan kebudayaan Asia di University of Korea. Dia tidak menyangka akan hal ini. Di sana, ia terus mempopulerkan wayang kulit dan mengajarkannya kepada orang-orang yang berminat. Selain itu, Sinta telah berpacaran dengan arjuna-nya, Bagas.
Musim semi di Korea Selatan sangat indah. Cahaya mentari menyemburat di langit sore kota Seoul. Sinta berada di N Seoul Tower. Sendiri. Ia memejamkan matanya dan membiarkan angin menyibak anak rambutnya menjadi tidak beraturan. Dengan bibir menyimpul senyum tipis. Ujung matanya lembab. Sebutir air mata jatuh dan meluncur melewati pipinya. Dia menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia bisa mewujudkan impian bapaknya membawa wayang kulit ke mancanegara. Ia ingin segera kembali ke bumi pertiwi. Bumi nusantara. Negeri tanah surga, tempat semua cinta berlabuh.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook